Sabtu, 19 Desember 2015

Apa Artikel Ini Bisa Dipercaya ya????#PapaDoyanLonte

Peringatan : Jika di dekat-dekat sampeyan ada anak kecil, tunda dulu baca artikel ini karena di sini ada screenshots twit yang sangat nggak pantas dibaca mereka. Twit-twit itu tidak termasuk twit kasar untuk standar orang bergelar doktor, tapi termasuk sangat kasar untuk sebagian besar orang terutama anak kecil dan tuna asmara. Terima kasih.

Di sosial media, sedang ramai sekali perbincangan perihal pemilik akun Twitter @ypaonganan yang dicokok polisi, belakangan diketahui pemilik akun tersebut adalah seorang lulusan S3 sekaligus dosen salah satu universitas terbaik di negeri ini sekaligus CEO sekaligus Pembicara seminar sekaligus Pemimpin Redaksi majalah maritim sekaligus Pencipta drone (Aduh…Gemetar tangan awak ngetik ini, keren kali lah kau ya…).

Iya betul ditulis ‘pencipta’, bukan ‘perakit’. Beta kutip itu dari media nasional. Kisanak tiada usah heran, banyak wartawan bodrex sekarang ini. Mereka ndak tahu ngerakit (bikin) beda dengan mencipta. Dikiranya pencipta sama kayak bikin lagu.

Semua orang di jagat sosial media, khususnya yang saya ikuti, sepakat bahwa kicauan orang yang seringkali dipanggil Doktor Ongen itu tak patut. Tapi itu di lingkup pertemanan saya, yang kebetulan hampir semuanya fans Pak Presiden sejak era jasmev. Mungkin ada juga orang yang tidak suka kepada Jokowi sebetulnya diam-diam menyukai olahan visual Doktor Ongen tersebut, meski secara diam-diam. Hahaha.ongen

Tapi opini masyarakat kemudian terbelah pada tahap apakah Doktor Ongen layak menjalani proses hukum atau tidak. Mayoritas sih sepakat. Tetapi ada juga sebagian orang yang anti-UU ITE, tidak sepakat.

Saya tidak akan membahas itu. Di Twitter serta Facebook sudah banyak orang-orang kompeten yang sungguh maha bijak bestari yang telah meramaikannya. Saya hanya ingin membahas dari sisi lain.

Begitu selesai diperiksa polisi, Doktor Ongen langsung menyatakan menyesal dan mengaku tidak punya maksud buruk dengan unggahan olah visual yang menyandingkan Presiden Jokowi dengan Nikita Mirzani, lalu diberi tagar ‪#‎PapaDoyanLonte‬ dan ‪#‎PapaMintaPaha‬.

Sebagai sebuah drama, ini tentu antiklimaks. Endingnya garing. Saya tidak tahu apakah penyesalan Doktor Ongen itu benar adanya, ataukah hanya karena takut masuk penjara. Saya tidak berhak menghakimi hati nuraninya. Lagian tidak patut memperbincangkan hati nurani seseorang yang mampu berkicau seperti di bawah ini :
twit ongen

Tapi bolehlah saya berpikir bahwa dia tidak punya sikap ksatria. Ibarat orang pencilakan, petantang-petenteng, begitu dikeplak malah njelejehan di aspal. Mewek. Cengeng. Ibarat preman-preman yang hobi menggertak, begitu dilayani betul, air kencingnya merembes di celana.

Soal tidak punya maksud buruk, saya juga tidak tahu. Tapi susah membayangkan, ada orang yang telah mengunggah olah visual, membuat tagar, menyebarkannya dengan massif, tapi tidak punya maksud dan tujuan apa-apa. Kalau tak tahu risikonya bakal berurusan dengan polisi, sangat mungkin. Tapi ini soal pelecehan simbol negara.

Kalau dibiarkan, setelah ini terjadi, mungkin ke depan, dia bisa saja berdiri di pinggir jalan, lalu menabok muka orang yang kebetulan lewat, sambil kemudian bilang, “Eh, eh, jangan marah. Aku gak bermaksud menabok muka kamu, lho…”

Well.. Saya awalnya menebak, Doktor Ongen bakal menghadapi itu dengan dada tegak membusung tangan terkepal ke udara. Suara bergemuruh. Sambil terus tudang-tuding : “Saya tidak takut ! Saya akan melawan ! Saya tak takut masuk penjara ! Saya siap memimpin massa menumbangkan rezim Jokowi dari dalam penjara !”, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh beliau di akun sosial medianya yang begitu garang memaki, aeh, bahasa halusnya mengkritisi secara logis pemerintahan DKI era Ahok dan pemerintahan Indonesia era Joko Widodo.

Tapi jebulannya mak plenyik..

Pamungkas, sosial media adalah ranah publik. Sebagai pengguna, saya, Anda, kalian punya tanggung jawab moral untuk cuitan-cuitan serta postingan-postingan yang saya, anda, dan kalian bikin.

Mungkin sikap ksatria sastrawan Saut Situmorang patut diteladani. Dia kena jerat UU yang sama, dituduh mencemarkan nama baik Fatin Hamama di Facebook karena persoalan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia. Alih-alih meminta maaf dan menyesal, Saut menghadapi itu semua tanpa pernah menyatakan kalau dia tak punya maksud dengan makiannya.

Mungkin (lagi) bapak Doktor perlu kenalan dengan Saut Situmorang, agar pengecut tidak menjadi nama tengah.

Oh iya, sekedar tambahan. Rasisme adalah bunker persembunyian yang nyaman bagi mereka yang tak percaya diri, ketakutan, dan merasa terancam. Rasisme adalah tempat perlindungan bagi mereka yang merasa kecil dan inferior. Hidup Anda, bapak Doktor, masih panjang, jangan sia-siakan. Carilah konselor, entah rohaniwan yang bisa bapak Doktor percaya, psikolog atau psikiater.

Sungguh, saya serius. Saya amat sangat serius.(SUMBER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar