Kamis, 17 Desember 2015

Rakyat ditipu drama Setnov, MKD, DPR, dan Golkar! Baca ini pasti Naik Darah!

Secara resmi, berdasarkan hasil dari rapat tertutup yang digelar oleh partai Golkar, Ketua Fraksi Golkar di DPR, Ade Komaruddin terpilih sebagai pengganti dari Setya Novanto menjadi ketua DPR RI. Nantinya, untuk posisi dari Ade Komaruddin sebagai ketua Fraksi Golkar di DPR bakal digantikan oleh mantan ketua DPR, Setya Novanto.

"Harus diperjuangkan fraksi di DPR. Seluruh perjuangan bersama fraksi lain tidak ada aral melintang," ujar Ade seusai rapat tertutup dengan elite Golkar lainnya di Bakrie Tower Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (17/12).

Dia juga menyatakan bahwa sesuai dengan Undang-undang MD3 yang berhak menggantikan posisi dari ketua DPR adalah partai asal Ketua, bukan dari partai yang lainnya.

"Sesuai dengan MD3 usulan oleh fraksi yang dahulu tempat Golkar dapat posisi dan digantikan harus dari Golkar," sambungnya.

Sejak ditunjuk oleh Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie (Ical) menggantikan posisi dari Setya Novanto sebagai Ketua DPR, dirinya mengaku bahwa belum berkomunikasi apapun secara intensif dengan Setya Novanto.

"Saya baru diputuskan oleh ketua umum dan baru ketemu Pak Nov di sana dan belum bicara banyak hal. Nanti kita akan bicara lebih lanjut," pungkasnya.

Watak Asli Golkar Terlihat begitu jelas

Setya Novanto ternyata tak mudah untuk digeser dari kursi empuk sebuah jabatan di parlemen. Mundur dari Ketua DPR, kini Novanto malah tengah berkemas untuk duduk manis sebagai Ketua Fraksi Golkar.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut upaya Golkar untuk melakukan tukar guling jabatan antara Novanto dengan Ade Komarudin menunjukkan sifat asli Golkar.

"Tukar guling jabatan antara Setnov dan Akom memperlihatkan watak Partai Golkar yang sesungguhnya. Partai ini begitu pragmatisnya sejak orde baru sehingga segala sesuatu selalu diselesaikan dengan pragmatis juga," kata Lucius saat berbincang, Jumat (18/12/2015).

Lucius menyebut etika menjadi barang langka dalam menentukan pejabat publik. Dengan nada menyindir, Lucius menyebut bahwa asal pejabat itu punya posisi tawar maka segala urusan akan berlangsung dengan prinsip transaksi.

"Ini menunjukkan kembali semangat pragmatisme Golkar. Mereka bisa dengan cerdik mencari pembenaran untuk tukar guling itu. Bahwa pengunduran diri Setnov dilakukan karena kemauannnya sendiri, bukan karena dihukum atau mendapatkan sanksi dari MKD. Ini sebenarnya strategi licik yang berhasil membodohi MKD pada hari pengunduran diri Novanto," ucap Lucius.

Lebih lanjut lagi, Lucius menyebut Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) lah yang harus ambil posisi dalam hal ini. MKD menjadi benteng etika yang harus ditegakkan.

"Yang pasti situasi ini harus menjadi tanggung jawab MKD sebagai alat kelengkapan tetap DPR yang bertugas menjaga etika tetap ditegakkan di parlemen. Dengan tanpa keputusan MKD, Novanto merasa menjadi manusia suci dan tanpa cela. Ini harus menjadi tanggung jawab MKD," tegasnya.

Tak hanya itu, Golkar juga dianggap harus menjaga moral dalam mewujudkan DPR yang berintegritas. Lucius menyebut Golkar seharusnya menyadari bahwa bangsa ini terlalu besar dan mulia untuk terus dipermainkan oleh kelicikan politik tak bermartabat dari Golkar.

"DPR ini sudah hampir tanpa legitimasi rakyat lagi. Dan sumbaangsih kepemimpinan Novanto ikut menjadi penyebabnya. Jangan sampai atas nama nikmat kekuasaan politiknya, nasib DPR dipertaruhkan. Jangan sampai juga harga diri dan kesibukan bangsa untuk maju dihalang-halangi dengan mengurus parah pemimpin yang haus kekuasaan tanpa punya moral pribadi yang memadai," kata Lucius.

"Aneh bahwa Novanto masih saja mau menerima jabatan ketua fraksi tersebut. Di mana pertimbangannya yang tertulis di surat pengunduran diri bahwa suara publik yang turut menjadi pertimbangannya mundur dari jabatan pimpinan. Suara publik itu tak habis dengan pengundurann diri tersebut. Suara publik adalah kebenaran yang terus berteriak melawan nafsu serakah elit yang menggadaikan martabat demi memenuhi syahwat," pungkas Lucius.

Setya Novanto dianggap sudah menipu Rakyat

Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang hanya menerima pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR telah meloloskannya dari jerat sanksi dugaan pelanggaran etika terkait pencatutan nama Presiden dan Wapres.

Menjelang pembacaan vonisnya, Rabu (16/12/2015) malam pukul 19.45 WIB, Novanto menggunakan "jurus" terakhir dengan mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR RI melalui Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad.

Saat itu, sidang pembacaan putusan sudah diskors.

Sebanyak 15 dari 17 anggota MKD sudah membacakan pandangannya secara terbuka atas kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden.

Sebanyak sembilan anggota menyatakan Novanto terbukti melanggar kode etik kategori sedang dengan sanksi pencopotan dari Ketua DPR.

Adapun enam anggota MKD yang selama ini dikenal sebagai pembela Novanto menyatakan politisi Partai Golkar itu melanggar kode etik kategori berat dan mengusulkan pembentukan panel.

Surat pengunduran diri Novanto kemudian dibahas secara tertutup oleh MKD. Tak ada pengakuan bersalah dalam surat pengunduran diri tersebut.

Setelah sidang kembali dibuka untuk umum, Ketua MKD Surahman Hidayat langsung membacakan putusan yang menyatakan bahwa MKD menerima surat pengunduran diri tersebut dan menutup kasus Novanto.

Tak ada putusan mengenai sanski etik yang dilanggar.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bakti, menilai, semua ini sebagai skenario Novanto dan MKD untuk menipu rakyat.

Rakyat yang sejak awal memang mendesak Novanto untuk mundur terlena dengan keputusan pengunduran diri tersebut dan lupa dengan sanksi etik yang seharusnya dijatuhkan.

"Masyarakat ingin agar MKD itu memundurkan dia, sudah puas dengan keputusan itu. Padahal, kan tidak begitu. MKD harusnya memutuskan apakah ada pelanggaran etik atau tidak. Saya yakin mereka sudah buat skenario," kata Ikrar saat dihubungi, Jumat (18/12/2015).

Ikrar menduga, skenario awalnya adalah dengan memberikan sanksi berat dan meloloskan Novanto melalui pembentukan panel.

Panel akan terdiri dari tiga unsur anggota MKD dan empat unsur masyarakat. Panel bisa menyatakan Novanto tidak melanggar etika atau sebaliknya.

Selain itu, panel juga memiliki masa kerja yang lama, yakni 90 hari. Namun, karena mayoritas anggota MKD memilih sanksi sedang dengan mencopotnya langsung dari Ketua DPR, skenario kedua pun dimainkan.

Novanto mengirim surat pengunduran diri agar kasusnya ditutup tanpa sanksi. Entah kenapa, kata Ikrar, 17 anggota MKD setuju dengan skenario kedua ini.

"Inilah kelihaian Novanto dengan bermain politik," kata Ikrar.

Dengan lolos dari jerat sanksi, kata Ikrar, Novanto pun mempunyai beban moral yang lebih sedikit.

Kini, ia masih bisa melenggang sebagai Ketua Fraksi Golkar menggantikan Ade Komarudin.

Adapun Ade Komarudin menggantikan posisi Novanto sebagai Ketua DPR.

Bagaimana menurut Anda?(sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar